Saya wanita 22 tahun, termakan prinsip nikah muda, dan sudah menikah 2 bulan yang lalu.
Saya dibesarkan dikeluarga yang konservatif. Keputusan besar terbiasa saya putuskan sendiri dan dilatih mandiri sejak dini. Seperti keputusan menikah, keuangan, kuliah dan lain-lain yang mrnyangkut masa depan saya, saya di latih bertanggung jawab atas diri sendiri.
Diusia yang masih sangat muda ini, saya memutuskan menikah. Tentunya dengan orang yang saya cintai. Awalnya orang tua saya keberatan (bukan karena nikah mudanya, tapi keberatan dengan karakter pilihan calon suami saya) tapi mereka tetap memberi jalan, karena ini keputusan untuk keberlangsungan hidup saya ke depan.
Paska menikah, suami saya jujur pada saya. Ia memiliki keraguan sebelum menikahi saya. Apalagi saya? Ribuan keraguan menghinggapi kepala saya. Tapi saya gak berani bilang. Cuma jawab dalam hati saja. Demi menghindari perdebatan karena saya tinggal dirumah mertua. Otomatis saya sangat menghindari perdebatan di rumah ini.
Seminggu paska menikah, orang tuaku mengajak kami berdua ke luar kota. Untuk menghadiri pernikahan saudara saya. Saya sudah dilema duluan. Keuangan kami sedang krisis. Saya bilang ke bapak saya bahwa kondisi keuangan kami sedang nothing. Kami sama sekali tidak ada dana untuk ikut ke luar kota.
Bapak dengan senang hati bilang bahwa dia yang mau bayarin saya dan suami. Saya bilang ke suami, malah suami bilang gini,
“Mestinya, kalau bapakmu punya duit nih sekarang, harusnya bayarin kita dululah. Bantu kita buat bayar bank kek, atau buat bayarin hutang kita yang lain.”
Saya sudah DEG. kok orang ini ngomongnya begini. Padahal itu semua hutang adalah hutang pra-menikah. Mau dia menikah dengan siapa pun, kalau buat ngurusin hutang pra-menikah jelas tidak ada perempuan yang mau.
Dia lanjut lagi,
“pake ada acara ke luar kota segala lagi si bapak. Harusnya kamu bilang dong, dana aja kita lagi gak megang sekarang. Mana mungkin bapakmu ngajak kita ke luar kota kalau gak minta patungan ongkos! Kalau kamu bilang kita dibayarin itu mah akal-akalan kamu doang.”
Air mata saya menetes. Uneg-uneg saya yang baru seminggu di rumah ini pecah. Saya sudah sabar ketika kakaknya dulu disegala kondisi minta uang. Kalau gak ada uang, gak mau kerja. Kebetulan kakaknya tinggal serumah dengan kami. Belum bapak mertua yang tiap hari bilang ke saya, saya harus irit, jangan keseringan jajan, agar bisa buka lahan pekerjaan baru tahun depan. (saya juga ga doyan jajanan kali). Tambah lagi ibu mertua yang tiap pagi 'ngomelin' saya kalau saya beli sayuran yang saya suka.
Akhirnya saya bilang lirih, biar mertua saya gak dengar.
“Aku gak tahan Mas, rumah tangga gak megang duit begini.”
Dia jawab,
“Oh, ya sudah pulang saja! Tak anterin pulang sekarang kerumah orang tuamu! Ribet amat!”
Wah. Talak satu jatuh sudah. Setelahnya suami saya minta maaf. Dia bilang sebagai laki-laki dia merasa direndahkan. Oke, saya pun begitu. Sebagai perempuan saya juga merasa direndahkan. Saya sih gak minta maaf karena saya tau ucapan seperti ini bakal terulang lagi ke depannya.
Lusa, kami sedang mengobrol biasa. Basa-basi soal kehamilan dan persalinan. Saya minta sesar karena saya masih takut. Saya kira bakal maklum karena usia saya masih sangat muda sekali. Malah nyeletuk gini,
“Kata orang, belum jadi ibu yang sempurna a kalau belum melahirkan normal, loh.”
Saya sih diam saja dengan karakter muka saya yang judes ini. Mungkin semua kaum adam tidak tau kalau kata seperti ini saja bisa menyakiti hati istrimu berkali-kali lipat meskipun hanya bercanda.
Saya alihin ke pembahasan yang lain. Saya kode-kode buat misah tempat tinggal dari orang tuanya. Tapi ya tidak secara langsung. Karena jujur, saya sangat sangat sangat tidak betah di sini. Saya tidak tahan dengan mertua saya yang punya basic bicara lebih alias cerewet.
Eh, suami saya nyindir-nyindir saya dengan bahas riwayat orang tua saya sekaligus merendahkan orang tua saya.
“Yaaaa. Contohnya aja bapak. Coba dulu bapak gak nurutin ibu yang gak mau pindah. Coba ibu nurut sama bapak. Mungkin udah kaya raya sekarang. Nyatanya masih gitu-gitu aja hidup bapak.”Dan lagi suami saya nyeplos,“Kamu tuh kurang tanggap. Suami pulang kerja bukannya langsung bikin kopi kek, ditanya apa kek. Perhatian aja kagak. Emang pernah kamu nanyain udah makan belum atau gimana? Gitu kok mau jadi istri yang baik. Gimana cerita!”
Keulang lagi kan? ☺️ Saya ngalah aja deh. Nyingkir lalu masuk kamar.
Gimana ya, mana kalau saya minta pendapat suami, suami minta pendapat ibunya lagi. Ah, padahal harapan saya suami saya bisa memberikan keputusan mandiri untuk istrinya ini. Masa iya istrinya diatur-atur ibunya? Suruh datang kesana-kemari padahal keberadaan kami dianggap saja tidak. Mau menolak, tapi suami saya tidak memberi keputusan apapun untuk saya.
Pernah suatu hari tetangga saya cerita, bahwa ibu mertua saya dulunya sangat sombong sekali. Pernah senyum saja tidak. Jadi tidak ada tetangga yang menyukainya. Makanya setiap ada event emak-emak kampung, mertua saya tidak pernah ada. Seperti pengajian dll. Saya sih tidak tahu persis soal ini. Tapi ya sudah curiga sejak awal menikah semua tetangga pada bilang, “gimana, betah enggak di rumah ibu A?”
Kalau masak. Saya pengen masak A, dilarang. Harus sesuai dengan “beliau mau masak apa hari itu”. Melarangnya ya tidak dengan membentak sih. Mertua saya gak pernah membentak atau kasar. Saya masih bersyukur banget gak dibentak. Cuma ya egois. saya kurus lama-lama. Wong saya gak suka makananya. Ngalah deh. Makannya pake sambel sama nasi doang yang saya doyan.
Saya banyak diam di rumah ini. Saya mengabdi dengan suami saya dan keluarganya. Bukan dengan suami saya seorang. Soal nafkah lahir batin, sejauh ini saya belum paham dan belum menikmatinya.
Soal ranjang. Kalau saya gak mulai duluan, ya gak akan ada yang mulai. Kadang sampe merengek-rengek saya tuh. Melakukannya pun saya menikmati bercampur sedih. Hehehe.
Soal kasih sayang, ya semoodnya suami saya saja. Kalau lagi mood ya sayang orangnya. Kalau gak mood ya, pasang muka malesin sepanjang hari. Ah. Hatiku kosong sekaliiiiiii rasanya. Pulang kerja, kalau penyambutan saya kurang gesit dan kurang pas menurutnya, Ngomel-ngomel,
“dirumah kerjaannya cuma main hp aja, kayak sibuk banget.”
Iya sih saya yang salah. Saya akui. Mbok ya sabar sembari saya beradaptasi. Saya juga kan baru ini punya suami. Ini alasan kenapa hingga sekarang saya belum siap punya anak. Bukan soal ekonomi. Tapi ya. Saya takut menghadapi semua ini sendirian.
Saya siap kebahagiaan saya di kesampingkan. Yang penting suami saya saja dulu dan keluarganya. Saya tidak mau kembali mengingat masa lalu. Saya tidak mau menyesali apa yang sudah ada di depan mata saya dan menyesali jalan yang telah saya pilih. Saya maklum suami saya egois mungkin karena beban pikir untuk memenuhi kebutuhan kami sangat berat. Saya masih pengertian.
tapi saya janji sama diri saya sendiri. Saya harus mandiri. Saya harus bekerja suatu hari esok. Jadi biar semua beban gak di pikul suami saya sendiri. Jadi biar dia berubah dan tidak merendahkan orang tua saya terus.
Doakan saya tetap bisa bertahan menghadapi ini.
Mungkin kalau suami saya tau saya menulis ini, walaupun anonim, saya bisa diceraikan. Tapi ya what ever. ☺️
Terimakasih